Jayapura, PAPUANEWS.ID – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mimika, Provinsi Papua angkat bicara tentang maraknya kasus perkosaan yang menimpa anak di bawah umur.
Hal ini sontak membuat geram salah satu Anggota Komisi B DPRD Mimika Elizabeth Tenawe, Elizabeth mengatakan dibutuhkan peran serta dan keterlibatan semua pihak guna meminimalisir kasus-kasus kekerasan termasuk kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur, serta para pelaku dapat ditindak secara tegas sehingga kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali.
“Kita sebagai orang tua tentu sangat prihatin karena hampir setiap saat selalu terjadi kasus perkosaan dengan korban anak masih di bawah umur di Timika. Ini menjadi perhatian serius kita semua untuk dapat mengatasinya,” kata Elizabeth.
Seperti halnya kasus perkosaan yang baru-baru ini menimpa salah seorang pelajar SMP di Kota Timika Papua Jumat (22/4). Korban berinisial VEA yang masih berusia 14 tahun diperkosa secara bergantian oleh dua orang pemuda yang tidak dikenal di Jalan Freeport Lama, kompleks Bandara Mozes Kilangin Timika. Sebagaimana menurut kesaksian Korban di Polsek Mimika Baru, korban datang ke lokasi tersebut bersama pacarnya untuk bersantai mengingat lokasi tersebut sering didatangi oleh para remaja.
Korban kemudian ditinggal pergi oleh sang pacar setelah mendapat telefon dari ibunya, Tak lama kemudian, dua orang pemuda mendekap korban sambil mengancam korban dengan menggunakan senjata tajam. Dalam keadaan tak berdaya, korban lalu diperkosa beberapa kali oleh kedua pemuda yang kini masih dalam pengejaran aparat kepolisian Polsek Mimika Baru.
Setelah memperkosa korban, kedua pemuda tersebut langsung meninggalkan korban seorang diri dalam kondisi sangat memprihatinkan. Korban kemudian ditolong oleh seorang warga, atas nama Bazir Ode dan selanjutnya korban diantar ke Kantor Polsek Mimika Baru.
Kali ini saya
akan menganalisis berita diatas, yang saya bahas mengenai isi dari beritanya. Jadi
pada analisis saya kali ini berkiblat pada kode etik jurnalistik. Apa itu kode
etik jurnalistik?
Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam
melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi
setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol
oleh masyarakat.
Untuk
menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi
yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi
sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan
integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan
dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a.
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati
nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk
pemilik perusahaan pers.
b. Akurat
berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang
berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak
beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk
menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan
Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara
yang profesional adalah:
a.
menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati
hak privasi;
c. tidak
menyuap;
d.
menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa
pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan
keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati
pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak
melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai
karya sendiri;
h.
penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.
Penafsiran
a. Menguji
informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
b. Berimbang
adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak
secara proporsional.
c. Opini
yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini
interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas
praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong
berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang
tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah
berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis
berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul
berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara,
grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam
penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan
gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan
Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas
adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan
orang lain untuk melacak.
b. Anak
adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan
Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a.
Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan
pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut
menjadi pengetahuan umum.
b. Suap
adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain
yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan
Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak
adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi
keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo
adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan
narasumber.
c. Informasi
latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan
atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. Off
the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak
boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan
Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit,
agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah,
miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka
adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara
jelas.
b.
Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan
Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a.
Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan
pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang
terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan
Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan
tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan
atau pemirsa.
Penafsiran
a. Segera
berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada
teguran dari pihak luar.
b.
Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan
Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab
adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau
sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak
koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c.
Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik
dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan
oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Jakarta,
Selasa, 14 Maret 2006
(Kode Etik
Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor:
6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor
03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers)
Dari pasal-pasal
tersebut, saya menyimpulkan bahwa berita ini melanggar kode etik jurnalistik pasal
lima. Pada pasal itu dikatakan bahwa “Wartawan Indonesia tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”. Kebetulan si
penulis berita menyebutkan identitas korban yang masih dibawah umur dan belum
menikah. Karena dengan penyebutan identitas (alamat rumah, nama sekolah, nama
orang tua, dll.) korban yang begitu mendetail dapat merugikan korban dalam hal materi
dan non materi.
Jadi sebenarnya didalam menulis naskah berita,
kita tidak boleh menyebutkan identitas korban. Kita sebagai jurnalis yang baik
wajib menyamarkan identitasnya agar tidak terjadi kerugian pada pihak siapa pun
saat membaca berita yang kita buat. Kita juga sebagai pembaca berita harus bisa
menyikapi hal ini dengan bijak.
Sekian analisis berita saya kali ini, semoga bermanfaat :)
Komentar
Posting Komentar